a new chapter of our life

a new chapter of our life
Yarra River Melbourne, January 2010

Rabu, 29 Oktober 2008

Menulis itu Mahal















Menulis memang sebuah pekerjaan mengasyikkan namun sangat "mahal" bagi kita yang sehari-harinya harus kerja "rodi" membanting tulang, atau terbanting-banting oleh rutinitas dan tuntutan: ngajar, nguji, bikin laporan, melayani pasien, mengabdikan diri pada masyarakat (duh mulianya.....). Meskipun itu tentu saja hanya segudang alasan atau apologi bagi kita yang tidak terbiasa dengan budaya menulis sejak kecil, namun inilah yang sungguh-sungguh terjadi dan sungguh-sungguh kita alami.

Maka kesempatan menyepi dua minggu di kota Melbourne yang dingin Ramadhan lalu ternyata adalah kesempatan yang luar biasa langka dan mahal (bukan hanya karena memang biaya nya mahal, tetapi juga karena nilai aktivitasnya bagi para delegasi sangat berharga).


Kami berangkat ber 9, ber 10 tepatnya karena ada peserta termuda: Khalila Azkanura yang masih 18 bulan. Ada mbak Fitri, dosen PSIK yang kandidat doktor UGM, beliau adalah seorang bude yang baik untuk Khalila, yang setia mangku dan menghibur Khalila jika lagi bete di pesawat. Ada mbak Sari, tante manajer yang baik hati, setia nganter dan memfoto Khalila jika lagi jalan-jalan. Ada Om Anis Fuad, dosen IKM, seorang dokter yang techno. Ada Pakde Rukmono, dokter Obsgyn yang tidak pernah lupa bawa kamera kemanapun perginya selama di Melb (bahkan ketika di WC umum hi hi). Ada Pakde Rahmat, dosen Psikologi, pemenang penghargaan peserta terserius, karena bahkan sedang transit di bandara pun beliau terus menulis (ck..ck hebatnya). Ada Pakde Yoga, psikiater UGM yang rajin belanja buku rahasia selama di Melb. Ada Pakde Hendro Wartatmo, panglima II8 (emergency team), ahli bedah yang juga rajin hunting buku second bermutu selama di Melb. Ada Amah Marty, dosen muda Unsyah, teman Khalila suka dan duka di minggu pertama (karena minggu keduanya beliau dah harus kembali ke Aceh). Team dengan komposisi yang hebat bukan?

Banyak cerita mengharukan meski cuma 2 minggu, terutama jika berkaitan dengan makanan. Jika di negri sendiri, Yogyakarta indah yang lohjinawi ini, para anggota tim ini termasuk orang-orang yang Alhamdulillah diberi kemudahan Allah untuk mengakses makanan yang bergizi, namun selama di Melb, 3 kali team ini diundang buka puasa, ketiga-tiga kalinya harus berbuka saat Isya' tiba. Baik karena agak kesasar, karena ternyata jarak yang dipikir dekat itu ternyata jauuuuuuh banget, ataupun karena driver trem nya tidak mau melanjutkan perjalanan, sehingga kami ditomprang di tengah jalan (he he kayak trayek jogja magelang aja...).

Begitulah, namun mengenang saat itu sekarang jadi terasa sangat mahal. Setiap bangun pagi yang dipikir hanya cepat-cepat pergi ke Nossal Institute for Global Health, sebuah institusi di dalam Unimelb yang menjadi host kami. Di ruang kecil dalam kamtor itu kami berdesak-desakan di depan komputer satu-satu, semua serius....menulis. Break hanya dilakukan ketika supervisor atau kolega kami ingin berdiskusi tentang manuskrip jurnal yang sedang kami siapkan. Ketika sore, udah mau gelap dan kantor udah sepi, kami baru pulang sambil berlari-lari kecil karena takut tidak sempat bikin mie telor untuk buka puasa.....Bahkan, tak jarang tim Mas Anis kembali lagi ke Nossal di malam hari untuk kembali menulis sampai jam 11 malam.
Menulis, menulis, menulis.....tanpa ada yang mengganggu.....nikmat sekali.

Hasilnya, lumayan, beberapa calon manuskrip jurnal menemukan bentuknya hingga layak disebut "draft", tinggal sedikit sentuhan di Yogya insya Allah akan jadi. Namun apa kabar draft itu setelah sampai di Yk? Wuah ya itu tadi, menulis disini terasa sangat mahal.

Semoga kenangan tetang semangat menulis kita yang menggebu-gebu selama di Melb, bisa membangkitkan lagi energi kita. Jadi semacam sarana untuk relaksasi, mengenang tempat yang bisa membangkitkan semangat menulis. Seperti Andrea Hirata kecil yang mengenang Edensor setiap kali merasa perlu ketenangan diri..................

1 komentar:

Hakim mengatakan...

langit merentang selendang merah,
berhias, menanti purnama datang dengan kereta hitamnya,
namun, tiba-tiba kilat meraung bak serigala kesepian,
langit berkabung dalam jubah kelabu,
aku rasakan tetesnya dingin membekukan waktu,
tak kuasa ku usap air matanya,
kunyalakan sebatang lilin,
semoha malam kembali bercahaya
(Hakim, Awal Januari 09, Yogya)